Mengamati Poster Propaganda Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung

Unknown | 12:31 PM | 1comments
Dari: Taschen.Com

 Judul:  Chinese Propaganda Posters
Essay: Anchee Min, Duo Duo, dan Stefan R Landsberger
Penerbit: Taschen, Jerman,  2011
Halaman: 320 halaman
Harga; HK $ 128

Buku ini  memang lebih memiliki banyak gambar ketimbang teks. Namun gambar yang termuat di dalam bukanlah gambar biasa. Gambar tersebut tak lain poster-poster propaganda Mao Tse Tung ketika ia memgang kekuasaan di Cina.

Seperti halnya banyak pemegang kekuasaan, Mao pun ingin mempertahankan statusnya sebagai pemimpin partai. Apalagi ia mencetuskan Revolusi Kebudayaan di negeri itu hingga tahun 1970-an. Ia menyebutanya Great Leap.

Dari poster propaganda tersebut, Mao tidak hanya mempopulerkan Revolusi Kebudayaan, melainkan juga berusaha untuk mengultuskan dirinya. Usahanya boleh dibilang berhasil. Buktinya hingga kini masih banyak orang yang percaya dengan kebenaran ajaran Mao.

Dalam poster-poster yang termuat dalam buku ini, Mao menggambarkan dirinya sebagai sosok yang dicintai oleh rakyatnya, dan  dapat membawa Cina ke arah yang kebih baik, Cina yang lebih makmur di bawah pemerintahan partai komunis.

Bahkan beberapa poster memperlihatkan pentingnya “melupakan” kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa, untuk kepentingan partai.

Tapi toh dari beberapa catatan litartur yang ada, usaha Mao ternyata hanya isapan jempol. Usaha untuk memakmurkan Cina justru membawa penderitaan bagi rakyat. Bagaimana tidak, ketika Mao berkuasa kemiskinan semakin menjadi-jadi, kebebasan menjadi barang langka, dan tekanan terjadi kepada mereka yang dianggap memiiki orientasi ke Barat.

Poster-poster yang ada dalam buku ini paling tiak menjadi sebuah “monumen” yang mengingatkan kembali kepada siapa saja bahwa kekuasaan cenderung melanggengkan diri, dengan menghalalkan segala cara.

Kekurangan buku ini, menurut hemat saya, tidak adanya sebuah analisa yang memadai atas poster-poster tersebut. Poster-poster tersebut hanya memiliki data seputar pembuatnya, judul, dan latar belakang dibuatnya poster tersebut. Jika saja poster tersebut dilengkapi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan metodologi tertentu, semisal semiotik, maka buku ini akan menjadi lebih bernas.***

Salah satu contoh poster dalam buku, dari www.taschen.com
Contoh poster lain dalam buku: www.taschen.com

*) Catatan: buku ini diperoleh penulis dalam perjalanan menuju Hong Kong pada bulan September 2012. Tidak ada catatan apakah buku dijual di Indonesia atau tidak. info: www.taschen.com 

Mendengarkan Konsumen di Media Sosial

Unknown | 10:14 PM | 0 comments

Judul: Likeable Social Media
Penulis: Dave Kerpen
Penerbit: Mc Graw Hill
Halaman: 260 halaman
Harga: US $ 20

Media sosial itu seksi! Demikian sering disebut oleh para marketer. Bagaimana tidak, dengan media sosial, para marketer dapat menjangkau target yang sangat spesifik dengan biaya yang relatif lebih murah ketimbang media tradisional seperti televisi.
Persoalannya, bagaimana seorang marketer harus menyusun strategi agar kampanye yang dilakukan lewat media sosial dapat memberikan efek yang positif.
Buku Likeable Social Media ini memberikan semacam pedoman bagai mereka yang ingin menggunakan media sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Penulis buku ini, Dave Kerpen, memberikan segudang tips agar sebuah produk mendapat respon yang baik sehingga dapat memberikan efek viral yang sempurna.
Beberapa tips yang disampaikan dalam buku ini antara lain dengan memosisikan para dengan calon pelanggan. Ia harus dapat mengerti kemauan dan keinginan para calon konsumen.
Artinya, marketer harus dapat mendengar keinginan pelanggan. It's about listening! Begitu dikatakan oleh Dave Kerpen. Mendegarkan konsumen dan calon konsumen menjadi hal yang esensial. Konsumen harus didengarkan, baik pujian hingga cacian mengenai produk yang kita tawarkan.
Mengapa demikian? Karena esensi dari media sosial marketing adalah mendengarkan dan memberikan respon. Tanpa hal ini, sulit bagi marketer untuk meningkatkan brand enggagemnet konsumen.
Nah, jika anda adalah peminat social media marketing, liriklah buku ini.


Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia

Unknown | 11:24 PM | 0 comments
Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)



Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.

Pada bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu  perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya  pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.

Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal. 31-57).

Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.

Namun, situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.

Masalah lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.

Hal yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.

Pada halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.

Hal  berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.

Buku ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.

Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto.  Banyak cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu, namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk dinikmati.***

Teladan Bagi Calon Pemimpin Jakarta

Unknown | 11:17 AM | 0 comments
Judul               : AliSadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis             : Ramadhan KH
Penerbit           : Ufuk
Terbit               :  I, Juni 2012
Halaman          : xviii + 612 halaman
Harga              : Rp. 74.000

Membuat perbaikan di Kota Jakarta bukan perkara gampang. Landasan teori planologi maupun teori kemsyarakatan tidak sepenuhnya dapat menuntaskan persoalan yang telah lama bercokol. Sebaliknya, keinginan yang kuat, idealisme, serta kerja keras merupakan modal utama untuk melakukan perubahan.
Tampaknay para calon gubernur Jakarta periode mendatang perlu menengok kembali sepak terjang Ali Sadikin ketika ia mulai melakukan berbagai pembenahan di Jakarta pada awal masa kepemimpinannya. Seperti diketahui, kala itu Jakarta menyimpan setumpuk masalah.

Jalanan yang tidak memadai, kurangnya jumlah sekolah, angka pengangguran yang tinggi, minimnya fasilitas kesehatan, adalah sebagian kecil persoalan yang dihadapi Jakarta ketika Ali Sadikin mulai menjabat gubernur Jakarta. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah kota yang sangat tidak mendukung untuk dilakukannya perubahan dengan segera.

Semua itu telah membuat Ali Sadikin berpikir keras untuk membalikkan keadaan. Baginya salah satu hal yang harus dilakukan adalah memikirkan sumber pendapatan untuk memperoleh dana pembangunan. Salah satu sektor yang digenjonya kala itu ialah sektor pajak.

Dengan kata lain ia merevitalisasi sektor pajak agar kebocoran dikurangi sambil mencari sumber pajak lain yang dapat dimaksimalisasi. Salah satunyanya ialah pajak judi yang biasa dilakukan oleh komunitas etnis tertentu. Namun ide ini kemudian mengundang kontroversi.

Meski mengundang kontroversi, terutama dari golongan agamis, Ali Sadikin tidak urung melaksanakan niatnya. Pasalnya ia tahu bahwa kebijakan ini memiliki landasan yuridis. Dengan kata lain, pungutan pajak ini pada dasarnya legal.

Selain itu, bagi Ali Sadikin persoalan masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari balik meja. Ia harus turun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan warga, dan mengalami langsung kesulitan yang dihadapi oleh warganya.

Itu sebabnya ia tidak segan untuk berdesak-desakan di dalam bis kota untuk merasakan betapa tidak nyamannya sarana transportasi yang ada kala itu  (Hal. 129).  Karenanya juga ia menjadi tahu bagaimana harus melakukan pembenahan moda transportasi, mulai dari perlunya pemberhentian bis agar moda ini lebih tertib, hingga perlunya penambahan dan pembenahan terminal. Bahkan ia juga mengambil langkah berani meminjam dana dari Amerika untuk menambah armada bis.

Menariknya, Ali Sadikin seakan ingin memangkas birokrasi. Ia enggan kebijakannya direalisasikan dalam waktu yang lama. Itu sebabnya ia kerap melakukan instruksi langsung  di tempat secara spontan. Bahkan hal itu sering bernada perintah yang harus dilakukan segera. Ini dilakukan semata-mata agar warga tidak lebih lama menderita.

Berbagai aspek kehidupan warga kota begitu diperhatikan oleh Ali sadikin. Ia ingin warga merasa lebih diperhatikan dan dimanusiakan. Ini berarti ia ingin warga Jakarta lebih beradab. Kekerasan hatinya sajalah yang dapat mencapai itu semua. Bukan untuk kepentingan sekelompok orang apalagi dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan warga.

Buku ini dapat menjadi teladan bagi para calon pemimpin Jakarta. Ali Sadikin boleh saja disebut masa lalu. Namun ada pepatah mengatakan, siapa enggan melihat masa lalu, ia buta melihat masa kini.***




Tembakau dan Realitas Sosial

Unknown | 8:24 AM | 0 comments
Judul: Kisah Tentang tembakau
Editor: Irawan Saptono
Penerbit: ISAI
Terbit: Juni 2012
Halaman: 225 halaman

Etnis Tionghoa dan Keindonesiaan

Unknown | 3:40 AM | 0 comments



Judul: Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis: Iwan Santosa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx+ 316 halaman
Tebit: Juni, 2012



Eksistensi etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia.  Mereka tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,  melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Pertanyaannya, bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks kekinian? Pertanyaan ini diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja.

Seperti halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang yang tidak bakal hilang ketika orang Padang menyatakan diri menjadi anak sah dari Indonesia.

Artinya, memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia.

 Buku mencoba untuk memberikan sebuah gambaran umum mengenai kondisi masyarakat Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas pada etnis Tionghoa yang berada di perkotaan,  namun juga keturunan Tionghoa yang berada di pinggiran, misalnya saja mereka yang disebut dengan Cinta Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten.

Keberadaan warga Cina Benteng mematahkan anggapan umum  bahwa keturunan Tionghoa selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru sebaliknya. Mereka tidak berbeda dengan warga marjilan  pada umumnya yang selalu tersisihkan, terancam penggusuran, bahkan sering menerima tindakan-tindakan diskriminatif.

Konteksnya tentu bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa, namun tuntutan untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah turun-temurun berada di Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan melalukan kewajiban sebagai warga negara pada umumnya.

Buku ini juga seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk mempraktikkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Apalagi sejak jauh-jauh hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi. Perlakukan diskriminatif hanya akan membuat jurang yang kian menganga antar etnis.

Tidak hanya memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta, buku ini juga mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain di di Indonesia,  seperti di Semarang, Yogyakarta, Simgkawang, Padang hingga Aceh.
Dari Semarang buku ini melaporkan Pecinan Semarang yang tidak pernah mati. Salah satunya adalah Jalan Semawis yang selalu diramaikan oleh gerai-gerai kuliner di malam hari. Keramaiannya memuncak terutama pada malam minggu.
Jalan Semawis bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol geliat keguyuban masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti ingin diperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa masih hidup dan tetap dapat hidup berdampingan dengan warga Semarang lainnya.
Pendeknya buku ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan Tionghoa di Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara komprehensif, namun dari sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif untuk melihat bagaimana masa depan masyarakat keturunan Tionghoa dan identitas keindonesiaan.***

Menegaskan Peran Sultan dalam Sejarah

Unknown | 11:51 PM | 0 comments

 
Judul   : Sepanjang Hayat Bersama Rakyat
Penulis : Tim Kompas
Editor  : Julius Pour dan Nur Adji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit   : I, April 2012
Halaman :  xii + 347 Halaman



Problema utama historiografi ialah subjektivitas. Inilah menyebabkan historiografi cenderung tampil sebagaimana diinginkan oleh penulisnya dengan mengabaikan evidensi-evidensi objektif.

Cara memandang peristiwa sejarah yang keliru, orientasi penulisan yang sentralitis, serta berbagai tarikan kepentingan, cenderung  menghasilkan sebuah sejarah yang mistifikatif. Oleh karena itu, pelurusan sejarah menjadi sesuatu yang tidak boleh dihindari.

Begitu pula dengan sejarah Serangan Umum (SU) 11 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan oleh tentara gerilya. Peristiwa ini menjadi kontroversial karena berbagai tulisan sejarah memiliki versi yang berbeda-beda mengenai subjek penggagas serangan tersebut.

Banyak literatur menyebutkan, SU digagas oleh Letkol Soeharto, yang kelak menjadi presiden Republik Indonesia. Namun kemudian bantahan muncul yang menyebutkan bahwa peristiwa yang terjadi di Yogyakarta itu adalah inisiatif Sultan Hamengku Bowono IX.

Perbedaan itulah yang banyak dibahas pada bagian awal buku ini. Berbagai kutipan serta pandangan dari pelaku maupun ahli sejarah disampaikan untuk memberikan perspektif yang berbeda, terkait dengan SU.

Dari tulisan yang ada, seakan ingin ditegaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX-lah yang pertama-tama melihat arti strategis SU bagi eksistensi bangsa Indonesia. Itu sebabnya ia kemudian meminta Letkol Soeharto untuk mengomandoi sebuah operasi yang dicetusnya.

Ketika peristiwa sejarah ini diputarbalikkan, Sultan tidak banyak berkomentar. Penyebabnya,  ia tidak memiliki ambisi untuk dikenang dalam sejarah. Kepentingannya hanya satu yakni kepentingan rakyat.

Selain itu, buku ini juga ingin mempertegas posisi Sultan Hamengku Buwono IX. Baik perannya dalam sejarah bangsa Indonesia, maupun posisinya di hati rakyat. Apalagi Sultan dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Dalam buku ini diungkapkan sebagian kecil hal yang telah dilakukan oleh Sultan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Misalnya saja Sultan mempersilakan pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Sultan juga  menyumbangkan harta Keraton Yogyakarta untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia.

Dengan demikian, wacana untuk meniadakan keistimewaan Yogyakarta adalah hal yang ahistoris. Sebagai bangsa yang besar, tidak pantas rasanya menghilangkan ataupun melupakan sejarah.

Bukan hanya kisah besar mengenai Sultan yang diungkapkan dalam buku ini, melainkan juga kisah-kisah human interest yang memperlihatkan karisma dan kesederhanaan seorang Raja Jawa.
Misalnya, ketika Sultan berkunjung ke New York. Suatu kali, di tengah perjalanan kembali ke hotel, ia meminta Joop Ave, yang bertugas sebagai konsul di Konjen RI di New York,  meninggalkannya tanpa pengawalan untuk berjalan-jalan dan berbelanja di  Bloomingdale Department Store.

Joop Ave yang saat itu ditugasi menemani Sultan tidak dapat berbuat banyak. Ia pun meninggalkan Sultan sendirian dengan cemas.

Buku yang diterbitkan untuk  mengenang 100 tahun Sultan Hamengku Buwono IX ini kembali mengingatkan kita, bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin yang mengayomi dan mendengarkan rakyat. Hanya dengan cara itu ia dicintai dan selalu memiliki tempat di hati rakyat.***

 
Copyright © 2012. Buku Novel Roman Terbaru - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger